REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Umat Muslim akan segera menjalani bulan suci Ramadhan. Terkait penentuan awal Ramadan dan hari raya, sering kali masih diperdebatkan.
Menurut Peneliti Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin, kriteria hilal untuk menentukan Bulan Ramadhan, diadopsi berdasarkan pada dalil syar'i (hukum agama) tentang awal bulan dan hasil kajian astronomis yang sahih. Kriteria juga harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab, untuk menjadi kesepakatan bersama.
“Itu termasuk Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS),” kata dia dalam siaran pers, dikutip Kamis (16/3/2023).
Thomas menyebut ada potensi kesamaan awal Ramadhan, apabila saat Maghrib, 22 Maret 2023 di Indonesia, posisi bulan sudah memenuhi kriteria baru MABIMS. Kriteria itu adalah ketika tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (3-6,4). Pada saat yang bersamaan juga sudah memenuhi kriteria Wujudul Hilal (WH). Sehingga, dua kriteria tersebut menjadi seragam, baik versi 3-6,4 dan WH bahwa 1 Ramadhan 1444 pada 23 Maret 2023.
Dari segi teknologi, peneliti di Indonesia punya cara untuk menyelesaikan perbedaan menentukan awal puasa dan Idul Fitri. Ada kelompok yang berpatokan pada perhitungan (hisab) kalender dan atau menunggu sampai terbitnya anak bulan (hilal).
Menurut Farid Ruskanda, penulis buku “100 Masalah Hisab & Rukyat : Telaah Syariah, Dains, dan Teknologi”, teknologi yang digunakan adalah teleskop radar untuk mendeteksi gambar bulan di posisi hilal. Dengan teleskop radar, posisi hilal yang tidak bisa dilihat dengan mata itu bisa ditangkap.
Teorinya adalah radar memancarkan gelombang radio yang cukup kuat untuk sampai ke bulan yang berjarak sekitar 400 ribu kilometer dari bumi. Gelombang radio yang mengenai bulan itu akan memantul dan diterima oleh stasiun bumi, kemudian disiarkan secara nasional lewat stasiun televisi.
Sementara itu, pada 2022 lalu, Kampus Institut Teknologi Sumatera (ITERA) yang menjadi salah satu titik pengamatan hilal Ramadan 1443H/2022, memanfaatkan teleskop untuk pemantauan ini. Pengamatan dilakukan oleh tim Observatorium Astronomi ITERA Lampung (OAIL) dengan menggunakan Teleskop Ofyar Z Tamin (OZT) – ALTS.
Teleskop OZT-ALTS merupakan teleskop canggih buatan perusahaan produsen teleskop robotic asal Jerman, ASTELCO yang diberikan melalui bantuan Pemerintah Arab Saudi. Teleskop yang akan digunakan sebagai pusat pengamatan bulan internasional itu hanya ada 14 buah di dunia, dan salah satunya di kampus ITERA.