Kamis 09 Mar 2023 17:31 WIB

WNA Didakwa di Kasus Korupsi Pengadaan Satelit, Ditegur Hakim Soal Bahasa Indonesia

WNA yang didakwa hari ini adalah konsultan asing pengadaan satelit di Kemenhan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Para saksi menghadiri sidang kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2023). Dalam sidang hari ini dibacakan juga surat dakwaan untuk terdakwa WNA, konsultan asing, Thomas Anthony van der Heyden. (ilustrasi)
Foto: Republika.co.id/Rizky Suryarandika
Para saksi menghadiri sidang kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2023). Dalam sidang hari ini dibacakan juga surat dakwaan untuk terdakwa WNA, konsultan asing, Thomas Anthony van der Heyden. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penuntut Umum Koneksitas pada Kamis (9/3/2023), membacakan surat dakwaan terhadap Thomas Anthony Van Der Heyden di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat. Penuntut umum meyakini Anthony melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) pada Kemhan tahun 2012-2021.

Pembacaan surat dakwaan untuk Anthony sempat ditunda pada pekan lalu karena terdakwa belum didampingi penasihat hukum. Dalam sidang kali ini, Senior Advisor PT Dini Nusa Kusuma (DNK) periode 2015 - 2018 itu sudah didampingi kuasa hukum dan penerjemah. 

Baca Juga

"Telah melakukan perbuatan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum," kata Penuntut Umum, Jasri Umar dalam persidangan tersebut. 

Penuntut Umum mendakwa Anthony melakukan perbuatannya bersama mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, eks Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK), Arifin Wiguna; dan Direktur Utama PT DNK, Surya Cipta Witoelar. Ketiganya juga berstatus terdakwa di perkara ini. 

"Terdakwa Thomas Anthony Van Der Heyden bersama dengan saksi Surya Cipta Witoelar dan saksi Arifin Wiguna, meminta kepada saksi Laksamana muda TNI Purnawirawan Agus Purwoto untuk menandatangani kontrak sewa satelit floater berupa Satelit Artemis, antara Kemenhan dan Avanti Communication Limited," ujar Jasri. 

Padahal, sewa Satelit Artemis menurut penuntut umum tidak diperlukan. Apalagi saat itu Agus Purwoto tidak berkedudukan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). 

"Sehingga tidak sesuai dengan tugas pokok dan tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani kontrak, karena tidak pernah mendapat penunjukan sebagai PPK dari Pengguna Anggaran (PA)," ucap Jasri. 

Penuntut Umum juga mendakwa dalam penandatanganan kontrak tersebut belum tersedia anggaran dalam Daftar Isian 

Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemenhan, belum ada Rencana Umum Pengadaan  Barang/Jasa, belum ada Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau term of reference (TOR), dan belum ada Harga Perkiraan Sendiri (HPS), tidak ada proses pemilihan penyedia Barang/Jasa.

"Dan wilayah cakupan layanan Satelit Artemis tidak sesuai dengan filing satelit di Slot Orbit 123o Bujur Timur (BT), serta Satelit Artemis memiliki spesifikasi yang berbeda dengan Satelit Garuda-1," ucap Jasri.

Perkara ini didakwa kerugian keuangan negara sebesar Rp 453 miliar. Hal ini sesuai laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

Dalam perkara ini, Anthony didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Adapun terdakwa lain yaitu Agus, Arifin, dan Surya juga didakwa dengan pasal yang sama.

Teguran hakim

Pada persidangan hari ini, Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta Pusat meminta terdakwa Thomas Anthony Van Der Hyeden tak menyembunyikan kemampuannya berbahasa Indonesia. Majelis hakim mendesak konsultan berstatus WNA itu supaya jujur di hadapan persidangan. 

 

"Saudara ngerti nggak bahasa Indonesia?" tanya hakim ketua Fahzal Hendri dalam sidang pembacaan dakwaan terhadap Anthony pada Kamis (9/3/2023). 

Fahzal lantas mengonfirmasi kemampuan Anthony berbahasa Indonesia kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU). JPU membenarkan Anthony bisa berbahasa Indonesia saat pemeriksaan. 

"Bagaimana JPU? Konfirmasi," tanya Fahzal. 

"Tugas saya sebagai penyidiknya beliau bisa untuk menangkap berbahasa Indonesia, bisa komunikasi dua arah," jawab JPU. 

Fahzal lalu meminta Anthony tak perlu merahasiakan kemampuannya berbahasa Indonesia. Ia menjamin hal itu tak akan mengurangi hak Anthony di persidangan. Sebab Anthony tetap berhak didampingi penerjemah. 

"Jujur saja kalau bisa bahasa Indonesia bilang. Kalau nggak ngerti baru diterjemahkan. Jawab saja. Tidak mengurangi hak saudara. Kalau bisa bahasa Indonesia itu lebih baik. Coba sedikit-sedikit bahasa Indonesia," ucap Fahzal. 

Anthony mengklaim kemampuan berbahasa Indonesianya hanya di ranah percakapan dasar. "Saya bisa mengerti. Saya coba tapi bahasa Indonesia saya hanya seperti untuk pesan makanan begitu saja, saya takut bicara dan mengerti salah," jawab Anthony dengan bahasa Indonesia. 

Mendapati jawaban tersebut, Fahzal memandang Anthony punya kemampuan menyimak sidang dengan bahasa Indonesia. Tapi terkait istilah hukum memang menurutnya tetap diperlukan penerjemah. 

"Ndak usah saudara pura-pura nggak ngerti bahasa lalu berlindung di balik itu," tegas Fahzal. 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement