REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin banyak digunakan di tempat kerja. Penggunaan AI guna meningkatkan produktivitas dan pengambilan keputusan serta mengurangi biaya, termasuk mengotomatiskan tugas administratif dan memantau keamanan. Namun, apakah memang manusia mempercayai AI sepenuhnya?
Untuk memahami kepercayaan dan sikap orang terhadap AI di tempat kerja, studi yang berjudul Trust in Artificial Intelligence: A Global Study dilakukan. Professor Nicole Gillespie dan rekan-rekannya mensurvei lebih dari 17 ribu orang dari 17 negara. Di antaranya adalah Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Jerman, dan Amerika Serikat (AS).
Dilansir GizModo, Selasa (7/3/2023), data ini, yang menggunakan sampel yang representatif secara nasional, dikumpulkan tepat sebelum ChatGPT dirilis. Negara-negara disurvei adalah pemimpin dalam aktivitas AI di wilayah mereka seperti dibuktikan dengan investasi mereka dalam AI dan pekerjaan khusus AI.
Hasil studi mengungkapkan hampir setengah dari semua karyawan (48 persen) tidak terlalu mempercayai AI di tempat kerja. Misal, membuat keputusan berdasarkan rekomendasi AI atau berbagi informasi dengan alat AI.
Orang-orang lebih percaya pada kemampuan sistem AI untuk menghasilkan keluaran yang andal dan memberikan layanan yang bermanfaat daripada keselamatan, keamanan, dan sejauh mana mereka menjunjung tinggi hak privasi.
Namun, kepercayaan bersifat kontekstual bergantung pada tujuan AI. Sebanyak 63 persen orang merasa nyaman dengan penggunaan AI di tempat kerja untuk memudahkan pekerjaan. Namun, mereka kurang nyaman saat AI digunakan untuk pemantauan, sekitar 36 persen.
Sebagian besar karyawan melihat penggunaan AI dalam pengambilan keputusan manajerial dapat diterima dan sebenarnya lebih memilih keterlibatan AI daripada pengambilan keputusan manusia tunggal. Namun, opsi yang lebih disukai adalah membuat manusia mempertahankan lebih banyak kendali daripada sistem AI atau setidaknya dalam jumlah yang sama.
Responden menunjukkan dukungan terbesar untuk kolaborasi pengambilan keputusan 75 persen manusia hingga 25 persen AI atau pembagian masing-masing 50 persen. Ini menunjukkan preferensi yang jelas bagi manajer untuk menggunakan AI sebagai alat bantu pengambilan keputusan dan kurangnya dukungan untuk pengambilan keputusan AI yang sepenuhnya otomatis di tempat kerja.
Keputusan ini dapat mencakup siapa yang akan dipekerjakan dan siapa yang akan dipromosikan, atau cara sumber daya dialokasikan. Sementara hampir setengah dari orang yang disurvei percaya AI akan meningkatkan kompetensi dan otonomi mereka di tempat kerja, kurang dari satu dari tiga (29 persen) percaya AI akan menciptakan lebih banyak pekerjaan daripada menghilangkannya.
Ini mencerminkan ketakutan yang menonjol, yaitu 77 persen orang melaporkan khawatir kehilangan pekerjaan dan 73 persen khawatir kehilangan keterampilan penting karena AI. Namun, manajer lebih cenderung percaya AI akan menciptakan lapangan kerja dan kurang memperhatikan risikonya dibandingkan pekerjaan lain.