Jumat 03 Mar 2023 00:20 WIB

Remaja Makassar Dicekoki Miras Oplosan, Begini Cara Menghindari Pertemanan tak Sehat

Remaja di Makassar dicekoki miras oplosan oleh temannya.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Diborgol (Ilustrasi). Seorang pemuda di Makassar, Sulawesi Selatan, mencekoki teman-temannya dengan miras oplosan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Diborgol (Ilustrasi). Seorang pemuda di Makassar, Sulawesi Selatan, mencekoki teman-temannya dengan miras oplosan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lingkaran pertemanan yang tidak sehat bisa menjerat para remaja. Salah satu contoh kasusnya, yakni aksi kekerasan yang belum lama ini terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, di mana seorang pemuda mencekoki teman-temannya dengan minuman keras (miras) oplosan.

Dalam video yang beredar dan menjadi viral, tampak seorang pemuda yang diduga pelaku menghajar remaja lain di sebuah kamar indekos. Dia berulang kali memukul dan menendang meski korban sudah meminta ampun. Akibat insiden miras oplosan itu, tiga remaja tewas dan dua orang dirawat di rumah sakit.

Baca Juga

Dokter Lahargo Kembaren SpKJ menyarankan para remaja untuk segera melakukan identifikasi jika merasa berada di sebuah pertemanan yang tidak sehat atau pertemanan toxic seperti itu. Misalnya, jika saat berteman dengan seseorang, muncul rasa tertekan, takut, cemas, dan sedih.

"Setelah mengidentifikasi, perlu setting boundaries, buat batasan-batasan. Ini perlu dilakukan agar tidak terkena dampak dari pertemanan toxic," kata Lahargo saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (2/3/2023).

Lahargo menyebutkan sejumlah batasan yang bisa dilakukan. Batasi diri tidak bertemu secara fisik dengan yang bersangkutan, batasi waktu perjumpaan, serta menetapkan batasan secara emosional.

Membatasi diri secara emosional menerapkan teknik "observe but don't absorb" atau mengamati tapi tidak menyerap. Artinya, tetap bertemu dan mengobservasi perilaku, tapi apa pun yang dilakukan orang itu tidak "diserap", tidak perlu memengaruhi dan jadi beban pikiran.

Untuk menghadapi berbagai permasalahan hidup dan dinamika relasi, Lahargo berpendapat setiap anak dan remaja perlu belajar life skill atau keterampilan hidup. Dia menyampaikan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menerbitkan modul tentang itu.

Isinya termasuk teknik menghadapi tekanan dalam kelompok pertemanan, resolusi konflik, meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri, serta banyak hal penting lain. Keterampilan hidup juga bisa diajarkan orang tua, sekolah, lembaga keagamaan, Pramuka, dan lainnya.

"Kegiatan seperti latihan dasar kepemimpinan perlu diperbanyak agar anak-anak zaman sekarang punya life skill," ungkap Kepala instalasi rehabilitasi psikososial RS Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor itu.

Gaya Pengasuhan

Orang tua pun perlu menerapkan gaya pengasuhan yang baik. Lahargo menyebutkan, ada banyak jenis gaya pengasuhan.

Pola asuh otoriter

Bisa jadi sebagian orang tua masih otoriter, yakni mengharuskan anak patuh 100 persen terhadap ucapan dan perintah orang tua. Menurut Lahargo, gaya pengasuhan ini kurang begitu sehat karena anak menjadi tertekan, sekaligus pada akhirnya bisa membuat anak memberontak.

Pola asuh permisif

Gaya pengasuhan lain adalah permisif, yakni seluruh keinginan anak dipenuhi. Ini juga kurang baik karena anak tidak pernah berjuang meraih sesuatu. Dengan kondisi mudah dan segala sesuatunya selalu terpenuhi, dapat memicu anak menggunakan agresivitas ketika ada yang tidak sesuai keinginannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement