Rabu 01 Mar 2023 19:20 WIB

Masyarakat Dinilai Dibatasi Memakai Panel Surya di Rumah, Mengapa?

Pemanfaatan PLTS atap dibatasi 10-15 persen dari daya terpasang.

Seorang pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di pulau wisata Gili Trawangan, Kecamatan Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Rabu (14/12/2022). Guna mendukung kelistrikan untuk pariwisata di pulau Tiga Gili (Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan) selain menggunakan kabel bawah laut PLN juga menggunakan pembangkit listrik ramah lingkungan dengan memanfaatkan tenaga surya yang menghasilkan daya total 820 kWp  untuk kelistrikan pulau wisata Tiga GIli.
Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Seorang pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di pulau wisata Gili Trawangan, Kecamatan Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Rabu (14/12/2022). Guna mendukung kelistrikan untuk pariwisata di pulau Tiga Gili (Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan) selain menggunakan kabel bawah laut PLN juga menggunakan pembangkit listrik ramah lingkungan dengan memanfaatkan tenaga surya yang menghasilkan daya total 820 kWp untuk kelistrikan pulau wisata Tiga GIli.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan seharusnya tidak ada pembatasan terkait dengan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap bagi masyarakat.

"Solusinya, PLN tidak boleh memberikan batasan itu, harusnya masyarakat atau konsumen punya hak untuk memasang PLTS. Masalahnya, sekarang Peraturan Menteri ESDM itu tidak diindahkan oleh PLN," kata Fabby saat dikonfirmasi, Rabu.

Baca Juga

Hal tersebut disampaikannya saat dikonfirmasi soal pembatasan pemanfaatan PLTS atap 10 hingga 15 persen dari daya terpasang yang diberlakukan oleh PLN.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Aturan itu menggantikan Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018.

Meski aturan tersebut menyatakan kapasitas maksimum sistem PLTS atap mencapai 100 persen dari daya tersambung pelanggan PLN, namun realisasinya pelaku industri masih belum bisa memasang pembangkit listrik matahari dan hanya terbatas sampai 15 persen.

Pembatasan itu, kata Fabby, berdampak pada industri rumah tangga yang ingin memasang PLTS atap.

"Permintaan PLTS atap tinggi dari industri dari rumah tangga tetapi sejak awal tahun lalu 2022, PLN itu menghambat pemberian izin PLTS atap terus kemudian PLN juga tidak mau melaksanakan ketentuan di Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021," kata Fabby pula.

Oleh karena itu, kata dia, banyak proyek PLTS atap yang harus tertunda akibat pembatasan tersebut. "Saya ambil contoh untuk anggota Asosiasi Energi Surya Indonesia itu rata-rata 'project' PLTS-nya terpangkas dari target proyek tahun lalu itu, terpangkas 60 sampai 80 persen. Bahkan kalau lihat target PLTS-nya pemerintah, Kementerian ESDM tahun lalu juga tidak tercapai hanya sepertiga yang bisa dicapai," ujar Fabby.

Ia juga mengkhawatirkan adanya rencana revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 justru malah bisa menghambat pengembangan PLTS atap.

"Bahkan kalau yang saya khawatir, revisi Permen ESDM 26 Tahun 2021 nanti malah bisa menghambat pengembangan PLTS atap, karena sebagian besar usulan revisi itu sangat mengakomodasi kepentingan PLN bukan kepentingan konsumen listrik," kata dia.

Sebelumnya, Kementerian ESDM telah menetapkan PLTS atap dengan target 3,6 gigawatt (GW) pada 2025 sebagai program strategis nasional. Penetapan PLTS atap sebagai program strategis nasional dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian target energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.

Adapun revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 merupakan cara pemerintah dalam mencari jalan terbaik untuk mendongkrak kapasitas terpasang PLTS atap di dalam negeri.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement