REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Boleh jadi kita tidak banyak yang menyadari bahaya sampah elektronik.
Sampah elektronik merupakan jenis limbah dengan pertumbuhan paling cepat di dunia, bahkan berpotensi menjadi sampah terbanyak kedua setelah limbah plastik dan tekstil.
Di Indonesia, limbah elektronik mencapai 1,8 juta ton setiap tahun, namun hanya 10 persen yang dikelola dengan benar dan memiliki izin secara resmi, dan 90 persen dikelola oleh sektor informal, baik individu maupun kelompok yang tidak memiliki izin dan tidak terdaftar.
Sementara, limbah elektronik di Indonesia termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan membutuhkan izin khusus untuk menanganinya sesuai dengan ketentuan peraturan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Sampah elektronik yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi polusi dan menghasilkan emisi, hingga berisiko mengganggu kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak, baik anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai pemulung, maupun yang hidup di bantaran TPA (tempat pembuangan akhir). Hal ini terjadi secara global, termasuk di Kota Makassar.
''Saya tidak ingin menjadi pemulung, tetapi ibu memaksa kami untuk bekerja di TPA agar mendapatkan uang untuk sehari-hari. Sering kali saya ikut kakak mengumpulkan sampah. Saya berharap kita semua bisa bermain dan bersekolah secara normal seperti anak-anak lain," ujar Santi, pemulung berusia 13 tahun di Makassar.
Namun, di sisi lain, tak hanya temuan masalah, riset sampah elektronik dan ekonomi berkelanjutan juga menyebutkan bahwa sektor elektronik sirkular atau daur ulang sampah elektronik dapat menciptakan 75 ribu pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan pada tahun 2030. Sebanyak 91 persen berpotensi dikelola oleh perempuan dan berkontribusi pada transisi hijau yang lebih inklusif.
Ada harapan dari pengelolaan sampah elektronik, terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru yang berkontribusi pada masa depan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan.
Save the Children mengapresiasi langkah korporasi yang berupaya melakukan transisi hijau dengan mengedepankan prinsip pemenuhan hak anak, salah satunya adalah penelitian Circular Geniuses yang dilakukan oleh organisasi sosial itu dan Accenture. Kedua organisasi itu telah melakukan pemetaan potensi dan masalah pengelolaan limbah elektronik di Makassar sejak akhir tahun 2022.
Hal ini bertujuan untuk mendukung keluarga pemulung dengan menjamin kesehatan dan keselamatan, meningkatkan keterampilan dan pendidikan keluarga untuk bangkit dari kemiskinan, serta menjamin pekerjaan yang lebih layak.
Termasuk melindungi anak-anak dari terekspos oleh bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, berupaya memenuhi hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan akses kesehatan, serta perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan.
Proses pemetaan yang holistik masih berlangsung. Salah satu rangkaian kegiatan pemetaan ini adalah melakukan pertemuan dengan Pemerintah Kota Makassar dan para pemangku kebijakan, termasuk organisasi berbasis masyarakat dan pihak swasta yang terkait dalam pengelolaan sampah elektronik yang lebih aman di Kota Makassar.
''Dari hasil riset ini, kami berharap kita dapat bersama-sama membangun sistem dan manajemen pengelolaan limbah elektronik yang lebih aman, baik pada manusia maupun lingkungannya," ujar Ferdi Mochtar,Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar.
Pemerintah Kota Makassar mendorong adanya ekosistem kemitraan dalam pengelolaan limbah elektronik ini. Kemajuan teknologi elektronik memang memudahkan hidup manusia. Namun, di balik itu juga menyisakan limbah berbahaya sehingga menuntut langkah konkret bersama untuk mereduksi dampaknya.