Kamis 27 May 2021 13:39 WIB

Sinema Folklor Ati Segara Tayang Akhir Mei

'Ati Segara' merupakan alih wahana pertunjukan tradisional 'Ketoprak Tobong'.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Proses di balik layar penggarapan sinema folklor bertajuk Ati Segara yang tayang mulai 30 Mei 2021.
Foto: Dok Ketoprak Tobong dan Mitra Seni Indonesia
Proses di balik layar penggarapan sinema folklor bertajuk Ati Segara yang tayang mulai 30 Mei 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sinema folklor bertajuk Ati Segara siap tayang mulai 30 Mei 2021. Produksi merupakan kolaborasi Ketoprak Tobong Kelana Bakti Budaya Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan perkumpulan nirlaba Mitra Seni Indonesia (MSI).

Ati Segara merupakan alih wahana pertunjukan tradisional Ketoprak Tobong ke bentuk film, yang dijuluki "Folklore Cinema". Sang sutradara sekaligus penulis naskah, Risang Yuwono, memiliki latar belakang di bidang film dan fotografi.

Baca Juga

Film berdurasi 48 menit itu meramu tiga kisah. Pertama, dinamika cinta antara Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani yang berbeda latar budaya dan keyakinan. Cerita kedua tentang Raden Ayu Matahati, dan ketiga mengenai relasi Pangeran Diponegoro dan ibundanya.

Benang merahnya adalah perjuangan dan kekuatan sosok perempuan dalam sejarah masa silam. Pada hakikatnya, Ati Segara yang bermakna hati samudra ingin mengangkat harkat perempuan Indonesia yang punya peranan besar.

Risang Yuwono dari Ketoprak Tobong menyampaikan, proses produksi menghabiskan waktu sekitar lima hari. Sinema melibatkan tim produksi sekitar 25 orang, yang terdiri para seniman serta artis daerah dari Yogyakarta dan Solo.

Menurut Risang, Ati Segara menjadi pelepas dahaga bagi seniman kembali berekspresi di tengah masa pandemi yang penuh tantangan. Sebagai ruang bagi seniman guna menyatukan rasa yang diyakini penting untuk dibagikan.

"Bukan seberapa sukses, berapa uang yang didapatkan, atau berapa banyak penonton, tapi seberapa merdeka menggarap nilai untuk diwariskan. Apa yang diperjuangkan, saya pikir itu bagian terpenting dalam karya," kata Risang pada konferensi pers virtual, Kamis (27/5).

Alih-alih beraksi di panggung, para pemain ketoprak berakting di alam dengan berbagai latar berbeda sesuai dengan cerita. Pemeran bicara dalam bahasa Jawa seperti layaknya ketoprak. Pada layar, dihadirkan terjemahan bahasa Indonesia dan aksara Jawa.

Film yang penulisan skenarionya butuh waktu empat bulan itu syuting di lokasi penambangan batu giling yang merupakan sisa arsitektural abad 18, serta di Parangtritis yang eksotis. Menurut Risang, ada tantangan memindahkan panggung ke layar.

Bagi sang seniman, tantangan terbesar adalah membawa ruh kepanggungan sehingga rasa dari pertunjukan tetap ada. Film tidak diiringi musik gamelan, melainkan musik organ dan suling agar menghadirkan cengkok tradisional dengan nada diatonik.

Ati Segara tayang di kanal Youtube Mitra Seni Indonesia mulai 30 Mei hingga 13 Juni 2021 pukul 19:00 WIB. Selain itu, juga akan ditayangkan pada 19 Juni 2021 pukul 20:00 di Locket exclusive streaming serta 22 Juni 2021 melalui aplikasi Genflix.

Sinema Folklor Ati Segara adalah inisiatif Mitra Seni Indonesia melalui program hibah praktik seni tradisi. Ketoprak Tobong mengikuti open call dan memberikan sinopsis pertunjukan panggung yang kemudian dialihwahanakan jadi film.

Ketua Umum Mitra Seni Indonesia Sari Ramdani mengajak penikmat seni untuk menonton sambil berdonasi. Pada penayangan mendatang, akan ada pengumpulan dana yang bekerja sama dengan Yayasan Benih Baik.

"Hasil amal akan disalurkan  kembali kepada kelompok seni pertunjukan tradisional yang terhenti kegiatannya karena pandemi Covid-19," ungkap Sari. Agustus 2020, MSI juga menghimpun dana lewat Pergelaran Amal Ludruk bertajuk "Dukun Tiban".

Dari pengumpulan donasi setahun silam, MSI turut membantu menggerakkan komunitas kesenian tradisional Sanggar Seni Warisan Makyong dari Riau, KITA ART COMMUNITY dari Bali, Ludruk Irama Budaya Surabaya, dan Sanggar Seni Astari Bangka Belitung.

Diskusi mengenai Ati Segara dipandu oleh budayawan Maudy Koesnaedi dan dihadiri sejumlah narasumber dari kalangan pelaku seni, pejabat pemerintah, serta akademisi. Beberapa di antaranya Rama Soeprapto, Widyawati, dan Nungki Kusumastuti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement