Rabu 09 Sep 2020 22:05 WIB

Jejak Ulama Nusantara di Mesir (1)

Sejarah mencatat para santri itu juga dipercaya mengajar agama di Mesir.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Muhammad Hafil
Jejak Ulama Nusantara di Mesir. Foto: Universitas Al Azhar Mesir
Foto: google.com
Jejak Ulama Nusantara di Mesir. Foto: Universitas Al Azhar Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Dalam disertasinya yang berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian 'Ulama in  the 17th and 18th Centuries untuk Columbia University, Azyumardi Azra melihat bahwa zaman kolonialisme Eropa pada abad ke-17 hingga ke-18 kerap dianggap sebagai kemunduran kaum Muslim.

Padahal, lanjut dia, dalam rentang tersebut juga terjadi dinamika sosial dan intelektual yang pesat di Dunia Islam. Azra pun menyoroti hubungan antara kaum Muslim Nusantara dan metropol Dunia Islam, yakni Jazirah Arab, yang setidaknya telah terjalin sejak abad ke-11 atau ke-12 Masehi.

Pada mulanya, Islam memang dibawa oleh para saudagar dari Arab, Persia, atau India ke kepulauan Indonesia. Namun, sejak abad ke-13 dan seterusnya, risalah Alquran lebih sering ditransmisikan melalui para sufi atau kaum terpelajar.

Dalam abad ke-18, Kesultanan Ottoman masih menguasai kawasan Hijaz, yang meliputi Kota Suci Makkah dan Madinah. Para sultan mengupayakan keamanan di sepanjang jalur haji dan juga mendorong peningkatan jumlah jamaah haji dari negeri-negeri jauh, termasuk Nusantara.

Momentum haji memang bukan lagi soal peribadatan hablum minallah,melainkan juga menjalin dan memperkuat jaringan terpelajar Muslim dari seluruh penjuru dunia.

Menurut Azra, dalam masa inilah di Makkah dan Madinah terjadi peningkatan urgensi komunitas ashab al-Jawiyyin. Di dalamnya tercakup orang-orang Melayu-Indonesia atau Nusantara pada umumnya. Maka, berkembanglah situasi kosmopolitan yang kondusif bagi kaum terpelajar.

Azra mencatat, jaringan ulama pada masa itu menghadirkan harmoni antara syariah dan tasawuf. Dan, para ulama asal Nusantara berperan penting dalam menumbuhkan geliat intelektual di Tanah Suci.

Azra menjelaskan, sejak abad ke-18, nama-nama ulama dari ashab al-Jawiyyin mulai muncul di literatur berbahasa Arab di majelis-majelis Hijaz. Yang paling mula, sekaligus diberikan tempat terhormat dalam kitab-kitab Arab, adalah Abdul Samad al-Palimbani.

Muridnya dari Yaman, Wajih al-Din al-Ahdal menuliskan biografi al-Palimbani dalam karyanya, Al-Nafs al-Yamani wa ar-Ruh ar-Rayhani. Satu nama lagi yang dapat disebutkan di sini adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, guru besar di Masjid al-Haram pada akhir abad ke-19.

Itulah untuk pertama kalinya peran imam besar Masjid al-Haram diisi oleh figur non-Arab. Dalam bimbingan Syekh al-Minangkabawi, KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan menimba ilmu pengetahuan selama di Tanah Suci. Dua sosok ini masing-masing kelak mendirikan organisasi-organisasi Islam berpengaruh di Dunia Islam sampai hari ini, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Signifikansi kalangan ulama Nusantara masih berlanjut dalam abad ke-20. Kini, tidak hanya di Hijaz, melainkan di pusat-pusat keilmuan metropol Dunia Islam lainnya, semisal Kairo, Mesir.

Bahkan, dapat dikatakan terjadi komunikasi dan transmisi keilmuan yang setara antara kalangan ulama periferi, termasuk Nusantara, dan metropolnya.

Mesir merupakan negara Islam yang sangat popular dalam bidang budaya dan ilmu pengetahuan sejak dari masa pemerintahan dinasti Fathimiyah. Mesir juga negara yang banyak melahirkan tokoh-tokoh berpengaruh di dunia Islam.

Sehingga, banyak para pelajar dari berbagai belahan dunia yang sangat tertarik dengan atmosfer akademiknya. Diketahui bahwa sejak masa dinasti Fathimiyah, Mesir telah menjadi pusat peradaban Timur Tengah selain Baghdad dan Suriah.

Zuhairi Misrawi dalam Al-Azhar, Menara Ilmu, Reformasi dan Kiblat Keulamaan menjelaskan, kedatangan Mahasiswa Indonesia ke Mesir untuk belajar di al-Azhar merupakan salah satu bukti pengaruh al-Azhar di Nusantara sekitar satu abad sebelum kemerdekaan RI.

Hubungan antara Mesir dan Nusantara terus berlangsung dengan intens, terutama dalam misi perdagangan dan proliferasi Mazhab Syafi'i.

Jika pada masa-masa sebelumnya orang-orang Mesir kerap bertandang ke Nusantara, karena mereka mempunyai misi perdagangan dan proliferasi Mazhab Sya'fi, bahkan menguasai Malaka. Maka akhir abab ke-19, sekitar 1850-an, orang-orang Indonesia mulai bertandang ke Mesir.

Mereka tidak mempunyai misi perdagangan, sebagaimana orang-orang Mesir ketika datang ke Nusantara. Yang dilakukan oleh orang-orang Jawa tesebut yaitu menimba ilmu di masjid al-Azhar, yang telah menjadi cikal bakal lahirnya Universitas al-Azhar.

Salah satu bukti kuat perihal adanya oang-orang Jawa yang belajar di Masjid al-azhar pada tahun tersebut, yaitu Riwaq al-Jawi atau asrama orang-orang Jawa.

Ali Mubarak dalam al-Khuthath al-Tawfiqiyyah al-Jaddidah li Mishr al-Qahirah/ menyatakan,  asrama Jawa terletak di antara asrama Salmaniah dan asrama Syawwam.

Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Pada 1871 jumlah mahasiswa asal Jawa sekitar enam orang. Tetapi tidak lama setelah itu, pada 1875, mereka meninggalkan al-Azhar.

Mesir pada pengujung abad ke-19 telah menjadi salah satu tempat tujuan utama komunitas komunitas Jawi belajar Islam, selain Makkah. Mereka pada umumnya pergi ke al-Azhar setelah sebelumnya beajar beberapa lama di Makkah.

Menurut Martin Van Bruninessen (1992), orang Nusantara yang pertama kali belajar di al-Azhar, Abdul Manan Dipomenggolono. Abdul Manan adalah pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, dan juga kakek dari Syekh Mahfudz Tremas.

Dijelaskan di situs resmi NU, KH Abdul Manan Dipomenggolo tinggal di al- Azhar, Mesir, sekitar 1850 M. Beliau berguru kepada Imam Besar ke-19, Ibrahim al-Bajuri. Jadi, wajar di tahun-tahun itu ditemukan kitab Fath al-Mubin, syarah dari kitab Umm al-Barahin yang merupakan kitab karangan Grand Syekh Ibrahim Bajuri mulai dibaca di beberapa pesantren di Indonesia.

Selain KH Abdul Mannan,  Imam Nawawi al-Bantani, termasuk deretan ulama yang pernah belajar dan berkesempatan mengajar di Mesir.

Arief Sukino dalam karyanya yang berjudul Dinamika Pendidikan Islam Di Mesir Dan Implikasinya Terhadap Transformasi Keilmuan Ulama Nusantara menjelaskan setelah menempuh pendidikan di Makkah, Syekh Nawawi  meneruskan pendidikan ke Syam dan Mesir.

Karena sangat terkenalnya beliau pernah diundang ke al-Azhar, Mesir, untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara tertentu. Belum jelas tahun berapa beliau diundang oleh ahli akademik di Universitas al-Azhar tersebut, namun beliau sempat bertemu dengan Syekh Ibrahim al-Baijuri (wafat 1860 Masehi).

Sementara itu, Jajaj Burhanuddin dalam Ulama dan Kekuasaan menerangkan, Mesir  menerbitkan percetakan di mana buku-buku Nawawi dilitografikan, seperti Lubab al-Bayan (1884), Dzari'at Yaqin (1886), Suluk al-Jaddah (1883), dan Sulam al-Munajah (1884).

 Selain Nawawi terdapat pula edisi litografi kumpulan doa dan ibadah berbahasa Melayu yang dicetak pada 1876, yakni karya Zainuddin dari Sumbawa, seorang ulama Jawi lain pada masa itu.

Pada 1895, Taher Jalaluddin seorang mahasiswa dari Minangkabau datang ke Kairo untuk misi beljar di al-Azhar. Kurang lebih tiga tahun ia mendalami ilmu falak di al-Azhar. Selama di al-Azhar, Taher menjalin hubungan yang sangat intens dengan Muhamamad Abduh dan Rasyid Ridha.

Ia sangat mengagumi pemikiran Muahmmad Abduh, bahkan setelah kembali ke Tanah Air, ia masih terus mengakses pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh melalui majalah al-Manar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement