Selasa 28 Apr 2020 07:37 WIB
Islam

Sunan Giri, Utusan Makkah, Pengislaman Jawa dan Nusantara

Peran para wali dalam mengislamkan Jawa.

Makam Sunan Giri di Gresik.
Foto: pinterest
Makam Sunan Giri di Gresik.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Orang mungkin lupa seolah wali sanga (Wali Songo) itu hanya ‘mengislamkan’ Jawa. Padahal kenyatannya tidak begitu. Mungkin istilah yang lebih tepat, yang mengislamkan budaya atau kekuasaan Jawa, lebih tepat disandangkan kepada Sunan Kalijaga.

Tapi, sosok yang wali atau orang mengislamkan wilayah di luar itu (Jawa bagian tengah dan Jawa  bagian barat) lebih tepat  disematkan pada peran Sunan Gunung Jati, Sedangkan Wali Songo yang mengislamkan Nusantara bagian tengah dan timur dari pulau Jawa, disandangkan kepada sosok Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri.

Pada sisi lain peran mengislamkan Jawa juga sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh para wali yang ‘konon’ sebenarnya jumlahnya tidak hanya sembilan orang itu. Namun peran mengislamkan Jawa juga jasanya berada pada sosok para ‘guru sufi’ di Jawa disebut kiai yang mendirikan berbagai pesantren di sekujur pelosok pulau Jawa.

Jumlah para guru sufi atau kiai (ajengan, di Jawa bagian barat, ‘yai’ di Jawa bagian timur sangat banyak jumlahnya. Dan kalau ditelusuri dari sislisah berbagai leluhur yang menjadi tali-temali nasab dari berbagai pesantren tua, para penyebar agama di Jawa dan Nusantara (mengacu pada disertasi Prof DR Azyumardi Azra) itu merupakan jaringan ulama internasional atau lintas negera.

Mereka ada yang berasal dari Campa (Prof Abdul Hadi menyebut bukan Campa di India, melainkan Jeumpa, negeri Aceh atau Samudra Pasai, red), Gujarat, Yaman, bahkan langsung dari tanah Makkah. Ini misalnya terjejak pada waktu Sunan Gunung Jati yang harus sampai pergi ke Makkah – sekalian naik haji—sebelum atau diawal pendirian Kesultanan Demak. Dia meminta restu dari Syarif Makkah.

Dan, kisah ini pun terjejak pada pendiri sebuah pesantren tua di Jawa tengah bagian selatan (kebumen,red), yakni melalui Pesantren Al Kahfi, di Somalangu. Pendiri pesantren itu terlacak dari seorang pendakwah yang mantan orang penting dari Hadramut atau Yaman. Kala itu wilayah Yaman adalah wilayah yang sama dengan apa yang disebut Tanah Hijaz.

Lebih Dekat, Masjid dan Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu ...

           Keterangan Foto: Pesantren Somalangu, di Kebumen, Jawa Tengah bagian selatan  

                            

                                 *****

Dan, khusus untuk peran Sunan Prapen atau Sunan Giri itu terjejak dari buku klasik yang baru saja kembali diterbitkan 'Penerbit Mata Bangsa dari Yogyakarta', 'Awal Kebangkitan Mataram’ karya DR H.J De Graaf. Bagi para kaum sejarawan nama ini bukan hal yang asing. Sejarawan yang kini menjadi Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan Sejarah UI, Didik Prajoko, mengatakan berkat De Graaf, sejarah Jawa menjadi sangat jelas terlihat. Ini berbeda dengan sejarah wilayah timur Nusantara yang masih banyak sisi gelapnya alias belum tersentuh oleh kajian para sejarawan.

Dalam buku ‘Awal Kebangkitan Mataram’ disebutkan Sunan Prapen konon sangat aktif, tidak hanya di Jawa. Tetapi  kegiatan dakwahnya juga sampai jauh di pulau Nusantara. Di Lombok ia dikatakan oleh kaum Sasak telah mengislamkan rakyat di sana. Di katakana penduduk dimita memeluk agama baru dan itu menyebabkan Raja Lombok memindahkan istananya ke Selaparang.

Dalam temuan penulis (di luar buku De Graaf) pengaruh Sunan Giri Prapen dari Gresik ini juga terjejak di wilayah Flores Timur (ujung timur –selatan Nusantara yang berbatasan dengan Timor Leste). Di sana ada kisah atau legenda seserorang yang bernama ‘Ole Lang’ pergi menumpang kapal bersama dengan para pelaut Jawa berlayar ke Gresik. Di sana ia hamper selama 15 tahun belajar atau menjadi santri Sunan Giri Prapen di Gresik itu.

Selanjutnya De Graaf sendiri menulis, mungkin Sunan Prapen ini juga ada hubungannya dengan usaha orang Jawa yang menyebarkan agama Islam Islam di Bali, seperti tersebut dalam ‘Kidung Pamancangah’.

Raja Mataram dan Raja Pasuruan dikatakan telah menggubah tembang berisi ejekan terhadap Raja Bali, Batu Genggong, dengan menyamakan dengan jangkrik aduan yang sedang dikilik. Raja yang terhina itu sangat marah, dan menjawabnya melalui satria, Den Takmung.

Dalam jawabannya, ia mengingatkan kembali akan kedatangan seorang utusan dari Makkah, yang menawarkan kepada Taja sebuah gunting dan peralatan cukur (Lelaki di Jawa dan Bali sebelum Islam memang rambutnya terbiasa dibiarkan panjang bergelung,red), serta hendak mengislamkannya. Hadiah itu dihancurkan, dan utusan tersebut pun dihajar.

De Graaf kemudian juga menulis, dalam kisah ini harus dikemukakan bahwa pemberian nama geografis, seperti ‘Mataram’ atau ‘Makkah’ hendaknya tidak terlalu dipandang secara harfiah. Bagi orang Bali kala itu gambaran mengenai dunia luar pulau mereka tidak jelas, tetapi dapat dipastikan bahwa Batu Genggong hidup semasa dengan Sunan Prapen. Sebab, bagaimana mungkin Sunan Prapen yang ingin mengislamkan Lombok, justru melompati Bali yang letaknya lebih dekat.

               

                      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement